Berduka Itu Perlu dan Penting



Awal Oktober 2021, tepatnya tanggal 4 Oktober, aku kehilangan seseorang yang berarti dalam hidup. Aku kehilangan suami, partner hidup dan kerjaku selama ini. Rasa sedih, kehilangan dan tidak percaya berkecamuk menjadi satu. Aku berduka dan bersedih. Banyak hal telah kami lalui bersama. Kenangan demi kenangan telah terangkum dalam ingatan. Tawa dan tangis kami bagi bersama. Suka dan duka kami rasakan berdua. Ketika aku kehilangannya, aku merasa separuh hatiku kosong.

Aku larut dalam  kesedihan dan menangis karena mengenangnya. Beberapa hari setelah kepergiannya, aku merasa mellow. Seakan tidak ada keceriaan lagi, masa depan seakan muram. Dan itu terjadi beberapa waktu.

Hingga aku mendengar seorang sahabat memberikan pencerahan.  It’s Okey, Take Your Time to Grief. Berduka itu penting. Itu bukanlah hal yang salah dan tabu. Menangislah apabila memang hal itu dapat mengekspresikan rasa duka yang mendalam. Take your time, baby. It’s okey. Menangis adalah cara untuk melepaskan rasa duka.  Rasa sedih yang tidak sepenuhnya dilepas akan memberikan  efek negatif terhadap tubuh. Beban kesedihan yang menumpuk karena tidak dilepas akan berpengaruh kepada psikis manusia.

Perasaan sedih juga tidak perlu tergesa-gesa dihilangkan. Biarkan berjalan dengan sewajarnya. Apabila ingin menangis, maka menangislah. Emosi manusia akan menaikkan mood manusia menjadi lebih baik. Proses ini akan membuat proses mengikhlaskan menjadi mengalir secara alami.

Dalam berduka, akan mengalami 5 fase dan ini aku alami juga. Fase-fase ini antara lain:

1.    Tidak Percaya

Aku tidak menyangka akan berpisah selamanya. Rasa tidak percaya ini aku rasakan kurang lebih dua minggu. Kehilangan beliau seakan hanya mimpi dan ketika aku terbangun akan menemui seperti biasanya. Tentu saja hal itu tidak akan terjadi. Apabila melihat barang-barang peninggalannya, air mata tak terasa menetes tanpa aku sadari.


2.    Sakit Hati

Hatiku terasa sakit karena kehilangan beliau. Hatiku terluka karena merasa belum maksimal dalam merawatnya. Ada saja alasan yang membuatku merasa tidak berguna, bersalah, dan seharusnya lebih berusaha lagi untuk melakukan yang terbaik agar beliau tetap hidup. Dan lagi, tentu saja rasa sakit ini kembali membuat air mataku bercucuran. Semua terasa tidak tepat. Apa yang aku lakukan sebelum beliau meninggal terasa salah. 

 

3.    Marah

Pada tahap ini, aku marah. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang menjadi menjadikanku marah. Coba kalau aku begini, tentu beliau dapat diselamatkan. Coba kalau begitu, tentu beliau tidak akan meninggal. Bla...bla...bla...Ada saja yang membuatku menyalahkan apa saja.


4.    Penerimaan

Setelah fase-fase sebelumnya kulalui, pada akhirnya aku dapat menerima kenyataan yang ada. Suamiku telah tiada, pergi untuk selamanya. It’s hard, so hard. But, life must go on. Penerimaan itu tidak serta merta aku terima. Banyak dukungan moral, dukungan semangat dari saudara, keluarga besar, dan teman dekat yang menguatkan. Cerita mereka, kenangan mereka dan juga canda mereka untuk mengenang beliau membuatku kuat. Kebaikan, semangat dan kesan baik suamiku membuat mereka memiliki kenangan dan cerita yang dibagi denganku.

Ada teman pengajian yang mengatakan “Manusia akan meninggal setelah jatah rezekinya di dunia telah habis. Kematian adalah suatu hal yang tidak dapat ditunda atau dimajukan, semua sudah ada takdirnya. Mati itu satu, tetapi caranya beribu-ribu bentuknya.”

Yah, aku sangat menyadari bahwa ajal manusia ada batasnya. Apabila Allah SWT Sang Pemilik Segala Sesuatu berkehendak, maka aku sebagai hamba-Nya hanya dapat mengikhlaskan dan bersabar menghadapi takdir ini.

“Memang harus diikhlaskan. Dengan begitu, Mas tidak merasakan sakit yang berkepanjangan,” demikian ucap saudara dari suamiku.

Ada banyak lagi nasehat dan penguatan yang aku dapatkan.


5.    Netral

Di fase netral ini, aku dapat mulai melihat ke belakang dengan kesadaran bahwa semua pasti ada hikmahnya. Allah SWT selalu memberikan hikmah di setiap kejadian yang menimpa hamba-Nya. Aku merasa ini adalah sebuah cobaan bagiku. Aku yakin ada hikmah di balik cobaan ini. Banyak hal yang berubah setelah kepergian suamiku. Salah satu hikmah yang dapat aku rasakan adalah aku bersyukur telah berjodoh dengan suamiku. Pribadinya yang tegas dan pantang menyerah mengajarkan padaku ketegaran di saat aku lemah. Dan masih banyak hal lagi yang mengubah diriku menjadi pribadi yang positif seperti sekarang.   

 

Rasa berduka itu mungkin suatu saat akan datang, tetapi biarkan saja berjalan dengan sewajarnya. Dengan demikian ketika rasa duka itu berlalu, yang ada hanyalah kenangan indah yang dapat diingat. Ada satu hal lagi yang mungkin ingin aku bagi. Ketika aku kehilangan beliau, aku merasa waktu yang kami habiskan bersama sangatlah singkat. Banyak hal, mimpi-mimpi dan cita-cita yang ingin kami wujudkan bersama. Namun, kami tidak tahu bahwa maut memisahkan kami sedemikian cepat. Oleh karena itu, aku ingin berbagi, sayangi dan perlakukan pasangan Anda semaksimal mungkin. Bahkan hal-hal yang terkesan mungkin remeh, lakukan. Mau nge-date dadakan, berangkat. Mau malam mingguan boncengan motor berdua, hayuk. Kalau sedang marahan, segera baikan. Lakukan dengan sepenuh hati. Jadikan setiap momen menjadi hal yang indah untuk dikenang. Sebab kalau tidak ada kesempatan melakukan berdua lagi, mungkin  akan menjadi hal yang menyakitkan karena tidak akan terwujud lagi. Love you all.

0 Comments